Kesetaraan
Gender Dalam Islam
Media Bawean, 10 September 2008
Gender, merupakan istilah yang baru
dalam islam, karena sesungguhnya gender sendiri merupakan suatu istilah yang
muncul di barat pada sekitar ± tahun 1980. digunakan pertama kali pada
sekelompok ilmuan wanita yang juga membahas tentang peran wanita saat itu.
Islam sendiri tidak mengenal istilah gender, karena dalam islam tidak
membedakan kedudukan seseorang berdasarkan jenis kelamin dan tidak ada bias
gender dalam islam. Islam mendudukkan laki-laki dan perempuan dalam posisi yang
sama dan kemuliaan yang sama. Contoh konkretnya adalah islam tidak membedakan
laki-laki dan wanita dalam hal tingkatan takwa, dan surga juga tidak
dikhususkan untuk laki-laki saja. Tetapi untuk laki-laki dan perempuan yang
bertakwa dan beramal sholih.
Islam mendudukkan wanita dan laki-laki pada tempatnya. Tak dapat dibenarkan anggapan para orientalis dan musuh islam bahwa islam menempatkan wanita pada derajat yang rendah atau di anggap masyarakat kelas dua. Dalam islam, sesungguhnya wanita dimuliakan. Banyak sekali ayat Al-qur’an ataupun hadis nabi yang memuliakan dan mengangkat derajat wanita. Baik sebagai ibu, anak, istri, ataupun sebagai anggota masyarakat sendiri. Tak ada diskriminasi antara laki-laki dan perempuan dalam islam, akan tetapi yang membedakan keduanya adalah fungsionalnya, karena kodrat dari masing-masing.
Islam mendudukkan wanita dan laki-laki pada tempatnya. Tak dapat dibenarkan anggapan para orientalis dan musuh islam bahwa islam menempatkan wanita pada derajat yang rendah atau di anggap masyarakat kelas dua. Dalam islam, sesungguhnya wanita dimuliakan. Banyak sekali ayat Al-qur’an ataupun hadis nabi yang memuliakan dan mengangkat derajat wanita. Baik sebagai ibu, anak, istri, ataupun sebagai anggota masyarakat sendiri. Tak ada diskriminasi antara laki-laki dan perempuan dalam islam, akan tetapi yang membedakan keduanya adalah fungsionalnya, karena kodrat dari masing-masing.
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ﴿النساء:١٩﴾
Pergaulilah mereka (istrimu) dengan
baik (An-Nisa’:19)
Potongan ayat 19 surah An-Nisa’ di atas merupakan kaidah robbani yang baku yang ditujukan kepada kaum laki-laki yang di sebut kaum bapak agar berbuat baik kepada kaum wanita/ibu, baik dalam pergaulan domestik (rumah tangga) maupun masyarakat luas. Oleh karena itu, jika ada hadis, meskipun itu statusnya hadis shahih, lebih-lebih lagi itu hadis qawliyah yang substansinya bertentangan dengan kaidah baku tersebut (ta’arud), maka hadis itu perlu di analisa dan dikritik sesuai dengan prinsip-prinsip ilmu kritik hadis yang berlaku. Analisa seperti ini perlu di lakukan mengingat tidak ada satupun riwayat yang menyatakan bahwa rasulullah saw. Secara prakteknya pernah menghardik, memukul apalagi mengeksploitasi kaum wanita.
Gender merupakan konstruksi sosial,
masyarakat sendiri yang membentuk konsep gender tersebut. Gender adalah arti
yang di berikan menurut klasifikasi jenis kelamin (biologis) juga merupakan
tuntutan dalam masyarakat bagaimana seseorang harus bersikap menurut jenis
kelaminnya. Kata kata الجنس yang di artikan
sebagai gender sendiri mengalami banyak perdebatan/penolakan di kalangan
cendekiawan ataupun ulama’ islam sendiri karena bukan berasal dari akar kata
bahasa arab. Dalam islam kita mengenal kata الجنس yang sering di artikan sebagai gender.
Kata tersebut sesungguhnya berasal dari bahasa yunani.
Apabila di telaah lebih jauh, perlakuan dan anggapan masyarakat yang merendahkan wanita dan menganggap wanita sebagai masyarakat kelas dua sesungguhnya merupakan pengaruh cultural (kebudayaan) yang berlaku di masyarakat tertentu. Bukan berasal dari ajaran islam. Sebagai contoh adalah kultur atau budaya masyarakat jawa, terutama masyarakat zaman dulu yang menganggap bahwa wanita tidak perlu menuntut ilmu (sekolah) tinggi-tinggi karena nantinya mereka hanya akan kembali ke dapur, walaupun akhirnya seiring dengan perkembangan dan kemajuan teknologi, anggapan seperti ini mulai pudar namun tidak jarang kebanyakan kaum adam, khususnya dalam pergaulan rumah tangga menganggap secara mutlak bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi wanita. juga anggapan bahwa wanita tugasnya 3M (macak, manak, masak) ataupun pandangan bahwa wanita akan ikut menanggung perbuatan suaminya (surga nunut neraka katut). Padahal dalam Alqur’an sendiri dijelaskan bahwa tiap orang menanggung akibat/dosa dari perbuatannya masing-masing dan islam tidak mengenal dosa turunan. Bentukan cultural yang merendahkan wanita ini menyebabkan laki-laki memegang otoritas di segala bidang kehidupan masyarakat (patriarki), baik dalam pergaulan domestic (rumah tangga), pergaulan sosial ataupun dalam politik.
Ayat Alqur’an surah An-Nisaa’ ayat 34, seringkali di jadikan dalil bagi mereka yang beranggapan bahwa dalam islam, kedudukan laki-laki lebih mulia dari pada wanita. Padahal jika di telaah lebih dalam, sesungguhnya ayat tersebut sebenarnya memuliakan wanita karena dalam ayat tersebut, tugas mencari nafkah di bebankan
Apabila di telaah lebih jauh, perlakuan dan anggapan masyarakat yang merendahkan wanita dan menganggap wanita sebagai masyarakat kelas dua sesungguhnya merupakan pengaruh cultural (kebudayaan) yang berlaku di masyarakat tertentu. Bukan berasal dari ajaran islam. Sebagai contoh adalah kultur atau budaya masyarakat jawa, terutama masyarakat zaman dulu yang menganggap bahwa wanita tidak perlu menuntut ilmu (sekolah) tinggi-tinggi karena nantinya mereka hanya akan kembali ke dapur, walaupun akhirnya seiring dengan perkembangan dan kemajuan teknologi, anggapan seperti ini mulai pudar namun tidak jarang kebanyakan kaum adam, khususnya dalam pergaulan rumah tangga menganggap secara mutlak bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi wanita. juga anggapan bahwa wanita tugasnya 3M (macak, manak, masak) ataupun pandangan bahwa wanita akan ikut menanggung perbuatan suaminya (surga nunut neraka katut). Padahal dalam Alqur’an sendiri dijelaskan bahwa tiap orang menanggung akibat/dosa dari perbuatannya masing-masing dan islam tidak mengenal dosa turunan. Bentukan cultural yang merendahkan wanita ini menyebabkan laki-laki memegang otoritas di segala bidang kehidupan masyarakat (patriarki), baik dalam pergaulan domestic (rumah tangga), pergaulan sosial ataupun dalam politik.
Ayat Alqur’an surah An-Nisaa’ ayat 34, seringkali di jadikan dalil bagi mereka yang beranggapan bahwa dalam islam, kedudukan laki-laki lebih mulia dari pada wanita. Padahal jika di telaah lebih dalam, sesungguhnya ayat tersebut sebenarnya memuliakan wanita karena dalam ayat tersebut, tugas mencari nafkah di bebankan
kepada laki-laki. Ayat tersebut juga
menjelaskan secara implisit bahwa tidak ada diskriminasi antara laki-laki dan
wanita, akan tetapi yang membedakan antara keduanya adalah dari segi
fungsionalnya karena kodrat masing-masing.
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى
النِّسَاء بِمَا فَضَّلَ اللّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ
أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّهُ
وَاللاَّتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي
الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُواْ عَلَيْهِنَّ
سَبِيلاً إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيّاً كَبِيراً ﴿النساء:٣٤﴾
“kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita,
oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas
sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka, sebab itu maka wanita yang saleh ialah yang ta’at
kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada. Wanita-wanita yang
kamu khawatirkan nusyuznya maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka dari
tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta’atimu,
maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah
Maha Tinggi Lagi Maha Benar.”(an-Nisa’/4:34)
Dari ayat tersebut, sesungguhnya dapat kita ketahui bahwa keistimewaan laki-laki dari pada wanita salah satunya adalah karena tanggung jawabnya dalam memberi nafkah pada keluarganya. Maka ketika seorang laki-laki tidak menunaikan tanggung jawab sebagai kepala keluarga, maka boleh jadi kedudukannya tidak jauh berbeda.
No comments:
Post a Comment